Kamu mungkin sudah familiar dengan konsep makroekonomi. Apakah kamu tau indikator dasar makroekonomi? Selain bisa mengetahui tingkat kesehatan ekonomi satu negara, kamu juga bisa memanfaatkan indikator-indikator ini ketika sedang menganalisis kinerja aset investasimu.
Indikator dasar makroekonomi terdiri dari Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat bunga, inflasi, tingkat pengangguran, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yuk, kita bahas bersama!
Sekilas Mengenai Indikator Dasar Makroekonomi
1. Produk Domestik Bruto
Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total keseluruhan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh satu wilayah dalam satu jangka waktu tertentu, misalnya dalam satu kuartal atau satu tahun. Semua negara menggunakan indikator ini untuk menunjukkan tingkat kesehatan ekonominya.
Perhitungan PDB sejatinya terdiri dari tiga pendekatan, yakni pendekatan pengeluaran (expenditure approach), pendekatan faktor produksi, dan pendekatan penerimaan (income approach). Namun, negara-negara umumnya menggunakan pendekatan pengeluaran ketika mengkalkulasi PDB.
Rumusnya pun gampang diingat, yakni Konsumsi + Investasi + Pengeluaran Pemerintah + (Nilai Ekspor – Nilai Impor).
Negara-negara berpendapatan rendah atau menengah harus memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan populasinya yang juga ikut bertumbuh. Oleh karenanya, selain mengukur tingkat kesehatan ekonomi sebuah negara, pertumbuhan ekonomi juga digunakan sebagai indikator untuk melihat hasil dari program-program ekonomi di wilayah tersebut.
Bagi investor, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu faktor penting untuk menentukan keputusan berinvestasi. Sebagai contoh, Indonesia mencetak pertumbuhan ekonomi 3,5% secara tahunan pada kuartal III 2021.
Hal ini mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia mulai pulih dari dampak pandemi COVID-19, sehingga kamu bisa mempertimbangkan untuk investasi di pasar modal.
2. Tingkat Bunga
Tingkat bunga adalah besaran biaya yang perlu kamu keluarkan ketika meminjam uang dari perbankan (cost of borrowing).
Besaran bunga tersebut ditampilkan dalam bentuk sejumlah persentase tertentu per tahun. Sebagai contoh, jika kamu meminjam uang Rp100 juta dengan tingkat bunga 7%, maka total pinjamanmu setahun berikutnya akan menjadi Rp107 juta.
Tingkat bunga bukanlah semacam “hukuman” bagi nasabah karena sudah meminjam uang dari perbankan. Bunga adalah kompensasi yang diterima kreditur karena berani mengambil risiko untuk meminjamkan uang kepada debitur.
Adapun risiko yang dimaksud adalah kemungkinan bahwa sang debitur tidak bisa melunasi uang pinjaman tersebut.
Oleh karenanya, perbankan biasanya mematok bunga pinjaman tinggi kalau risiko gagal bayarnya juga tinggi. Sehingga, jika debitur ingin mendapatkan tingkat bunga pinjaman rendah, maka mereka juga harus mempertahankan skor kreditnya.
Selain itu, besaran tingkat bunga kredit juga tergantung dengan naik-turunnya tingkat suku bunga acuan bank sentral. Bank sentral kerap mengubah suku bunga acuan untuk merespons kondisi ekonomi yang terjadi di negaranya. Lembaga otoritas moneter tersebut akan mengerek suku bunga acuan jika pertumbuhan ekonomi tumbuh kebablasan.
Sebaliknya, mereka akan menurunkan suku bunga acuan demi memacu pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan suku bunga acuan akan mengurangi nilai sekarang (Present Value) dari pendapatan dividen di masa depan. Akibatnya, harga saham pun bisa berguguran. Di samping itu, suku bunga yang tinggi akan meningkatkan opportunity cost dari meminjam uang, sehingga aktivitas ekonomi dan investasi akan terhambat.
3. Inflasi
Inflasi adalah tingkat kenaikan harga barang dan jasa dalam satu rentang waktu tertentu. Pengukuran inflasi pun bermacam-macam, mulai dari dari kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan hingga kenaikan biaya hidup di satu wilayah tertentu.
Namun, apapun konteksnya, inflasi mencerminkan seberapa mahal harga barang dan jasa pada suatu periode tertentu bila dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Inflasi yang tinggi akan menyebabkan biaya hidup masyarakat semakin mahal. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi bisa semakin melambat.
4. Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran adalah perbandingan antara jumlah tunakarya dengan total tenaga kerja di suatu wilayah dalam satu jangka waktu tertentu. Makanya, kalkulasinya pun sederhana, yakni (jumlah orang menganggur/jumlah tenaga kerja) x 100%.
Namun, jumlah orang menganggur yang dimaksud dalam kalkulasi ini tidak hanya mencakup orang yang tidak bekerja, namun juga para pencari kerja.
Tingkat pengangguran adalah salah satu indikator ekonomi penting untuk mengukur tingkat kesehatan ekonomi suatu negara. Nilainya pun berfluktuasi sesuai dengan siklus ekonomi. Dengan kata lain, tingkat pengangguran akan meningkat ketika terjadi resesi ekonomi dan menurun ketika ekonomi sedang dalam fase ekspansi.
Tingkat pengangguran tinggi tak hanya memperparah masalah sosial dan kesejahteraan masyarakat, namun juga bikin investor asing enggan berinvestasi di wilayah tersebut.
5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah proyeksi penerimaan dan belanja negara selama periode tertentu. Biasanya, periode yang digunakan pemerintah adalah satu tahun, atau biasa disebut dengan “tahun anggaran”.
Pemerintah biasanya membagi penerimaan ke dalam dua jenis, yakni penerimaan pajak dan non-pajak. Contoh penerimaan pajak adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea dan cukai, dan lain-lain.
Sementara itu, penerimaan non-pajak terdiri dari pendapatan bunga, dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil ekstraksi sumber daya mineral.
Kemudian, pemerintah juga membagi beberapa jenis-jenis belanja ke dalam kategori. Namun, kategorisasi pengeluaran antara satu negara berbeda dengan negara lain, tergantung dengan kebutuhan masing-masing negara tersebut.